Tangan di Atas, Tangan di Bawah

Sudah sejak lebih dari sebulan ini saya mengerjakan proses penerjemahan buku kumpulan artikel murid-murid Barat Ajahn Chah. Temanya macam-macam, dengan gaya bahasa yang juga bervariasi. Ada murid seperti Ajahn Brahm yang tulisannya segar dan lucu, sama seperti Ajahn Jagaro. Tetapi ada juga yang serius seperti Ajahn Sumedho dan Ajahn Kittisaro.

Sekarang, pekerjaan itu sudah hampir selesai. Di halaman-halaman terakhir, saya membaca artikel berjudul Dana yang ditulis oleh Ajahn Vajiro. Ini sebuah artikel yang bagus, tidak bertele-tele. Beliau membahas tentang dana sebagai bentuk pemberian tanpa pamrih, bahwa dana bukanlah sekadar kesediaan untuk berbagi, juga bukan sejenis transaksi macam “aku memberikan ini, maka kamu memberikan itu”.  Dana sejatinya adalah pemberian sepenuhnya, tanpa mengharapkan imbalan apa pun sebagai balasannya. Hanya dengan berdana—yang tanpa pamrih itu—barulah kita mampu mengatasi rasa keterpisahan kita dengan semesta, rasa yang seperti penyakit bawaan dari kehidupan kita sebagai seorang manusia.

Salah satu poin dari banyak hal yang beliau bahas mengenai dana, dan poin inimenohok saya, adalah bahwa dalam berdana sesungguhnya si pemberi dana dan si penerima pada saat yang bersamaan saling bertukar peran: pemberi memberi dana, pada saat yang sama dia pun adalah penerima juga karena mendapatkan kesempatan untuk memberi dana dari penerimanya. Di sisi lain, penerima dana mendapatkan apa yang dibutuhkannya dari dana yang diberikan pemberi, tetapi pada saat yang sama dia pun adalah juga seorang pemberikarena telah memberikan kesempatan berbuat baik (berdana) kepada si pemberi dananya. Kita hanya benar-benar dapat memberibila kita sungguh-sungguh belajar bagaimana menerima, dan kita hanya benar-benar dapat menerima bila kita sungguh-sungguh belajar bagaimana memberi.

Dulu, saat masih bergabung dengan sebuah forum diskusi bisnis di dunia maya, saya membaca tentang sejumlah orang yang membentuk kelompok sosial untuk membantu mereka yang membutuhkan uluran tangan. Orang-orang ini menamakan kelompok mereka dengan nama “Kelompok Tangan di Atas”, atau nama semacam itu. Menurut mereka, tangan di atas adalah tangan yang memberi, sedangkan tangan di bawah adalah tangan yang menerima. Meskipun halus, terasa ada sebuah superioritas di sini: pemberi berada di atas penerima.

Dalam Buddhisme, kita dilatih untuk melihat hal-hal dengan lebih menyeluruh dan bijaksana. Kita melakukan perbuatan baik tidak semestinya atas dasar rasa superioritas atau kesombongan, juga bukan untuk tujuan memegahkan diri kita sendiri. Perbuatan baik dilakukan atas dasar kasih sayang dan pengertian bahwa kita sejatinya adalah satu. Dengan cara seperti ini barulah kebajikan yang kita lakukan menjadi sempurna, utuh, dan tanpa pamrih.